Perubahan Secara Bertahap
Tatkala pemahaman kaum Muslim terhadap Islam mengalami kemunduran dan hampir-hampir berada pada titik nadir, muncullah gagasan-gagasan ganjil yang diklaim berasal dari ajaran Islam. Padahal, gagasan-gagasan itu telah menyimpang jauh dan tidak memiliki akar dalam syariat dan akidah Islam. Salah satunya adalah gagasan tentang perubahan secara bertahap (tadarruj). Di antara gagasan tadarruj itu antara lain adalah:

1.  Perubahan harus dimulai dengan mendirikan negara Islam di setiap negeri/negara Muslim, barulah kemudian menggabungkannya dalam satu wadah untuk membentuk Khilafah Islamiyah.

2.  Perubahan harus dimulai dari level individu, keluarga, masyarakat, barulah negara.

3.  Perubahan harus dimulai dari perbaikan akhlak dan penyucian kalbu individu, barulah perubahan yang lainnya.

Di samping itu, tadarruj juga sering dimaknakan sebagai usaha menerapkan syariat Islam secara bertahap. Contohnya, parti-parti Islam mengikuti pesta demokrasi untuk meraih jawatan perdana, sebelum mengangkat seorang khalifah, atau melibatkan diri dalam parlemen kufur untuk mengubah sedikit demi sedikit hukum negara dengan hukum Islam.

Alasan-alasan Tadarruj dan Bantahannya

Sebagian kaum Muslim yang berpendapat bahawa perubahan harus dilakukan secara bertahap mengajukan beberapa argumentasi sebagai berikut: Pertama, Al Quran diturunkan secara beransur-ansur dan bertahap, bukan secara serentak. Kedua, penetapan hukum atas beberapa permasalah, juga dilakukan secara bertahap. Contohnya adalah permasalah larangan riba dan khamr.  Mereka menyatakan bahawa larangan riba dan khamar dilakukan secara bertahap, bukan secara langsung/terus.

Bantahan atas argumentasi-argumentasi di atas adalah sebagai berikut:

Pertama, benar, Al Quran memang diturunkan secara bertahap. Ayat-ayat  yang diturunkan oleh Allah Swt pertama kali berhubungan dengan masalah keimanan, syurga dan neraka, barulah kemudiannya masalah hukum (halal-haram). Namun demikian, perlu difahami, kaum Muslim generasi awal tidak pernah meninggalkan satupun hukum yang telah diturunkan kepada mereka. Ketika turun ayat tentang iman, mereka langsung mengamalkannya secara sempurna. Begitu juga ketika turun ayat berhubungan dengan halal-haram. Ketika Allah Swt baru menurunkan 5 ayat, mereka langsung mengerjakannya secara sempurna, bukan secara bertahap. Ketika telah turun 5 ayat, mereka tidak pernah mengerjakan 2 ayat saja, dan meninggalkan 3 ayat yang lain.

Jelas, bahawa aplikasi hukum ketika hukum sudah diturunkan secara sempurna tidak ada hubungannya dengan period turunnya Al Quran, tetapi berhubungan dengan hukum taklifi dan wadhi‘ serta prinsip istitha‘ah (kemampuan). Atas dasar itu, para sahabat tidak pernah melakukan tadarruj. Para sahabat juga tidak pernah berkompromi dengan hukum-hukum kufur sebagai tahapan untuk melaksanakan hukum Islam.

Kerena itu, saat ini pun kaum Muslim mesti melaksanakan seluruh ketentuan Allah Swt tanpa terkecuali. Allah Swt berfirman yang bererti:
Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara total. (QS al-Baqarah [2]: 208).

Imam al-Nasafi  menyatakan, bahawa ayat ini merupakan perintah untuk sentiasa berserah diri dan taat kepada Allah Swt atau Islam secara total. Kata kaffah adalah hal (keterangan) dari dhamir yang melekat pada kata udkhulu, yang bermakna jami‘an (total, menyeluruh. (An-Nasafi, Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil, I/112]. Demikian juga pendapat Imam al-Qurthubi. (Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, III/18).

Ini diperkuatkan oleh pendapat Imam ath-Thabari yang menyatakan, “Ayat tersebut merupakan perintah kepada orang-orang Mukmin untuk menolak selain hukum Islam dan menjalankan syariat Islam secara total sekaligus larangan untuk mengingkari satupun hukum yang merupakan bahagian dari hukum Islam.” (Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabarî, II/337).

Adapun dalam konteks pelaksanaan hukum, maka seluruh hukum yang dibebankan kepada setiap kaum Muslim harus dijalankan oleh setiap individu mereka tanpa pengecualian. Misalnya, shalat, zakat, puasa, nikah kahwin dan lain sebagainya.  Demikian juga jika aplikasi suatu hukum disandarkan pada parti atau kelompok Islam, maka perlaksanaannya harus oleh mereka. Misalnya, kewajipan menegakkan kembali Khilafah Islamiyah.  Kewajipan ini jelas hanya mampu dipikul oleh kelompok atau gerakan Islam. Hal yang sama berlaku bagi hukum-hukum yang penerapannya menjadi kewajipan Negara; individu ataupun kelompok tidak boleh menerapkannya. Contohnya menerapkan sanksi hudud dan jinayat, pengaturan urusan publik, politik luar negara, melakukan futuhât, dan jihad.

Kedua, adapun mengenai permasalah larangan khamr dan riba, maka bantahan atas pendapat di atas adalah sebagai berikut;

Apabila ayat-ayat tentang khamr dan riba diperhatikan, maka tidak akan ditemukan tahapan apapun dalam pengharamannya. Dalam konteks khamr, misalnya, sesungguhnya belum ada hukum atas khamr sebelum turunnya ayat yang mengharamkannya. Yang ada adalah mula-mula dibiarkan, didiamkan, kemudian baru diharamkan.

Hal semacam ini tidak boleh dikatakan sebagai pentahapan dalam pengharaman khamr, kerana tidak seorang Muslimpun menganggap khamr itu mubah setelah turunnya ayat pengharaman khamr. Tidak ada satupun kitab-kitab fekah yang dikarang oleh ulama-ulama besar dan para mujtahid umat ini yang membahas masalah tadarruj dalam permasalah pengharaman khamr.

Motif Tadarruj

Sesungguhnya tadarruj merupakan pembahasan baru yang dipicu oleh sulit dan kerasnya situasi. Nash-nash syariat kemudian ditundukkan di bawah keinginan dan kondisi yang sulit. Metodologi berfikir mereka menjadi terbalik. Mereka telah menetapkan tadarruj terlebih dulu, barulah kemudian dicarikan argumentasi syariatnya.  Namun mereka lupa bahawa fakta bukanlah dalil syariat, namun objek yang harus dihukumi.

Tadarruj dalam Usaha Mendirikan Khilafah Islamiyah

Gagasan untuk menegakkan Khilafah Islamiyah dengan cara terlebih dulu mendirikan negara Islam di setiap negeri kaum Muslim yang kemudian digabungkan dalam satu wadah merupakan salah satu cara berfikiran tadarruj. Gagasan ini dianggap lebih realistik dan mudah daripada langsung menegakkan Khilafah Islamiyah. Alasan demikian jelas lebih dilandasan pada fakta dan kondisi yang ada, bukan pada syariat.

Padahal, di samping sebagai ketetapan syariat, menegakkan secara langsung Khilafah Islamiyah—tanpa tahapan pembentukan negara Islam di setiap negeri Islam—merupakan strategi yang paling efisien, ampuh, dan memendekkan masa transisi. Perjuangan yang diarahkan untuk enegakkan negara Islam di negeri Islam masing-masing jelas akan memanjangkan transisi menuju terbentuknya Khilafah Islamiyah, bukan memendekkannya. Selain itu, kekuatan kaum Muslim akan terpecah-belah dalam berbagai nation yang justeru memudahkan orang-orang kafir menguasai kaum Muslim sehingga mereka akan lebih mudah menghancurkan kekuatan kaum Muslim. Perjuangan semacam ini juga akan melanggengkan fahaman nasionalisme dan negara bangsa. Padahal, nasionalisme inilah yang justeru pernah menggerogoti kaum Muslim.

Benar, dalam tataran praktis, dakwah harus dilakukan di tempat kita berada.  Bagi Muslim Malaysia, lahan dakwah kita adalah di Malaysia, bukan di Indonesia, apalagi di Arab Saudi, misalnya. Namun demikian, dalam tataran konsepsional, perjuangan kaum Muslim di masing-masing negaranya harus diarahkan untuk menegakkan satu sistem pemerintahan Islam atau satu Kekhilafahan di satu wilayah yang menurut perhitungan-perhitungan dakwah dan politis memang layak dijadikan sebagi pusat Kekhilafahan.

Tadarruj dalam Perubahan Sosial

Dalam hal ini, ada dua gagasan: Pertama, gagasan untuk melakukan perubahan masyarakat melalui tahapan perubahan dimulai dari level individu, keluarga, kemudian masyarakat dan akhirnya negara.

Kesalahan dari gagasan ini terletak pada asumsi dasarnya. Sebab, masyarakat tidak hanya tersusun oleh   individu, tetapi juga oleh pemikiran, perasaaan dan aturan yang diterapkan di tengah-tengah mereka. Ertinya, masyarakat tidak akan berubah sebelum pemikiran, perasaan dan aturan yang diterapkan di dalamnya diubah. Meskipun individu-individu seluruhnya beragama Islam, namun selama aturan yang diterapkan di dalamnya bukan aturan Islam, maka masyarakat itu tetap disebut masyarakat kufur.

Sebaliknya, walaupun majoriti individu yang ada di tengah-tengah masyarakat adalah kafir, tetapi aturan yang dilakukan dan keamanan di negara itu dijamin oleh kaum Muslim, maka masyarakat itu tetap disebut sebagai masyarakat Islam. Walhasil, perubahan masyarakat harus dilakukan dengan cara mengubah sistem aturan dan pemikiran dasar yang dijadikan landasan oleh masyarakat tersebut.

Benar, Rasulullah saw berdakwah seorang diri, kemudian menghubungi para shahabat satu persatu. Akan tetapi, tidak boleh difahami bahawa dakwah yang ditujukan oleh Rasulullah saw adalah dakwah yang ditujukan untuk hanya mengubah individu-individunya saja sehingga ketika masing-masing individu berubah maka keluarga dan masyarakatpun akan  berubah. Sebab, sejak awal, individu-individu ini sesungguhnya dipersiapkan oleh Rasulullah saw untuk melakukan perubahan di tengah-tengah masyarakat dengan jalan menyerang seluruh pemikiran, keyakinan dan aturan-aturan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Jadi, watak perubahan yang ditanamkan oleh Rasulullah saw kepada para kadernya adalah perubahan yang bersifat sistemik, bukan individual.

Di samping itu, Rasulullah saw juga mengutus para sahabat untuk menghubungi para pemimpin kabilah—sebagai representasi dari kekuatan masyarakat—dan menggalang dukungan dari mereka. Rasulullah saw juga melakukan thalab an-nushrah (menggalang dukungan) dari para pemimpin kabilah Arab agar mereka mahu menyerahkan kekuasaan mereka kepada beliau. Kerena itulah, ketika Rasul mendirikan Negara Islam di Madinah, beliau tidak menunggu semua penduduk Madinah menjadi Muslim. Kenyataan ini semakin membuktikan bahawa dakwah untuk mengubah masyarakat kufur tidak fokus pada perubahan individu-individunya belaka.

Kedua, gagasan bahawa perubahan masyarakat harus dimulai dari perubahan akhlak dan penyucian kalbu setiap individu. Ini adalah gagasan dangkal dan premature dalam memahami proses perubahan masyarakat. Perubahan masyarakat tentu harus difokuskan pada semua unsur yang membentuk masyarakat, bukan sekadar diarahkan pada akhlak dan kalbu individu-individunya. Sebab, akhlak dan kalbu adalah perkara yang bersifat individual, bukan sistemik. Bukankah krisis ekonomi saat ini tidak hanya akibat dari buruknya akhlak masyarakat, tetapi lebih kerana berlakukannya sistem ekonomi kapitalis? Bukankah banyaknya tindakan perzinaan/pelacuran, dadah, korupsi, dan sebagainya tidak semata-mata kerana rosaknya akhlak individu, tetapi lebih kerana berlakukannya sistem sekular yang memang memberikan peluang bagi terjadinya semua itu?

Namun demikian, bukan bererti kita mengabaikan atau menganggap remeh masalah akhlak dan kesucian kalbu. Sebab, akhlak yang baik dan kesucian kalbu adalah juga tuntutan syariat yang harus diwujudkan oleh setiap Muslim. Akan tetapi, kita hanya ingin mendudukkan secara proporsional keduanya dalam ranah yang sebenarnya. Dengan begitu, tidak ada alasan lagi untuk mencukupkan diri pada perbaikan akhlak dan penyucian kalbu individu untuk menciptakan  masyarakat Islam dan menegakkan sistem Islam.

- Ummu Solehah Abdullah - 14.05.2004

Hantar artikel ini kpd sahabat: 

Sertai Maillist M@RHAEN