Stigma Politisasi Agama
Parti-parti Islam yang memperjuangkan syariah Islam atau menegakkan negara Khilafah Islam, sering dituduh melakukan “politisasi agama”. Maksudnya, berpolitik atas nama agama atau membawa-bawa agama dalam dunia politik. Isu parti Islam dalam Pemilu untuk melaksanakan syariat adalah ”politisasi agama demi keuntungan politik yang tak berhubungan dengan kepentingan agama. Tentu tuduhan tersebut cukup menyudutkan parti-parti Islam, sebab tuduhan itu bernada merendahkan. Lagi pula, faktanya memang ada sebahagian parti Islam yang “menjual” agama demi kekuasaan belaka, tanpa memperjuangkan syariah Islam secara serius.

 
Memang, jika “politisasi agama” diertikan penyalahgunaan agama untuk menjustifikasi kepentingan politik sesaat yang tidak sesuai norma Islam, jelas tidak boleh dibenarkan. Misalnya jika yang dimaksud “politisasi agama” adalah berpolitik atas dasar agama dengan anggapan bahawa agama itu harus neutral atau terpisah dari politik. Di sinilah perlunya kita mengkaji secara saksama term “politisasi agama” dalam erti tersebut, sebab term itu membawa virus ideologi yang patut dikritik.
 
Menolak Term Politisasi Agama
 
Istilah “politisasi agama” (tasyiis al-diin) sebenarnya bukanlah istilah neutral, melainkan istilah yang terkait dengan suatu pandangan hidup (worldview, weltanschauung) tertentu, iaitu sekularisme. Sebab dalam masyarakat sekular Barat, pemisahan agama dari gereja (agama) adalah suatu keniscayaan. Kerananya, politisasi agama dipandang ilegal sekaligus pencemaran atas kesucian agama yang sakral.

Robert Audi (2002) menjelaskan bahawa sebuah negara moden haruslah menjalankan prinsip pemisahan agama dari gereja (sekularisme), yang meliputi tiga prinsip, iaitu prinsip kebebasan (libertarian), prinsip kesetaraan (equality), dan prinsip neutraliti (neutrality). Berdasarkan prinsip terakhir, suatu negara haruslah mengambil sikap neutral di antara agama-agama. Implikasinya, jika negara mengutamakan atau mengadopsi suatu agama tertentu (di antara beragam agama) untuk mengatur kehidupan bernegara, bererti negara itu telah melanggar satu prinsip dasar sekularisme. Inilah “politisasi agama”, yang dianggap penyimpangan (corruption) dalam logik sekular, kerana agama memang harus dipisahkan dari urusan politik. Maka wajarlah jika kaum sekular akan menolak jika agama dibawa-bawa dalam berpolitik, atau orang berpolitik atas nama agama. Sebab hujung-hujungnya adalah menjadikan satu agama tertentu untuk mengatur negara.

Mengapa logik sekular menolak campur tangan agama dalam kehidupan politik? Hal ini tak terlepas dari trauma masyarakat Barat di Abad Pertengahan (abad ke-5 s/d ke-15 M) ketika gereja dan negara berkolaborasi mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat. Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, semuanya harus tunduk pada ketentuan gereja. Struktur masyarakat yang seperti ini, telah menimbulkan kerugian yang luar biasa atas kemanusiaan di segala bidang, sehingga abad-abad itu dikenal dengan “Masa Kegelapan” (The Dark Ages). Akal manusia dipaksa menelan dogma-dogma gereja buatan para gerejawan yang kaku dan irrasional. Copernicus misalnya yang mencetuskan teori heliosentris dalam bukunya De Revolutionibus (1507), mendapat tentangan hebat dari gereja yang berfahaman geosentris. Galileo Galilei yang membela Copernicus dalam bukunya The System of the World (1632), diancam hukuman mati oleh gereja dan akhirnya mati di penjara.

Masa Kegelapan ini mulai diubah pada abad ke-16 melalui sekularisasi terhadap gereja, dengan gerakan Reformasi (koreksi terhadap penyimpangan gereja Katolik), Renaissance (“kelahiran kembali” dengan menghidupkan warisan Yunani-Romawi), dan Humanisme (menjadikan manusia --bukan Tuhan-- sebagai penentu segala sesuatu). Abad-abad selanjutnya (abad ke-17 s/d ke-19) merupakan kelanjutan dan pematangan sekularisasi dengan adanya Abad Pencerahan (Aufklarung, Enlightenment). Abad-abad ini ditandai dari karya berjudul Novum Organum oleh Francis Bacon (1620) sampai ke Critique of Pure Reason oleh Immanuel Kant (1781). Dalam period ini, para filosof, teologi, sosiologi, psikologi, sejarawan, politikus dan lain-lain menyerukan penyingkiran (deconsecration) nilai-nilai agama dari kancah kehidupan. Mereka menyerukan semangat rasionalisasi dan menitikberatkan aspek kemanusiaan, kebebasan, dan keadilan. Usaha pemisahan gereja dari negara ini mencapai puncaknya pada Revolusi Perancis (1789) yang mengumandangkan slogan dari Voltaire (w. 1778) “gantunglah raja terakhir dengan usus pendeta terakhir.”

Dari tinjauan historis ini, dapat difahami, bahawa  proses sekularisasi adalah hal yang niscaya bagi Peradaban Barat yang Kristian. Tanpa sekularisasi, Barat akan tetap dalam kemunduran intelektual dan kegelapan segala bidang di bawah tindasan gereja Kristian. Tepatlah jika Friedrich Gogarten (w. 1967), seorang teologi Protestan terkemuka dari Jerman, mengatakan,”...[secularization] is a legitimate consequence of the Christian faith.” (Sekularisasi adalah konsekuensi yang sah dari keimanan Kristian). Sejalan dengan Gogarten, Gabriel Vahanian, seorang teologi Calvinis mengatakan,”Sekular adalah keharusan seorang Kristiani.”

Walhasil, fahaman sekularisme yang tumbuh di dalam masyarakat Barat inilah yang mendasari penolakan “politisasi agama”. Kerananya, jika ada parti politik atau kelompok dakwah yang mengusung misi politik bernuansa agama, misalnya penegakan syariah Islam dalam kehidupan bernegara, atau misi mendirikan negara Khilafah Islam, maka ini akan mudah dicap sebagai “politisasi agama”. Tentunya stigma yang demikian bukanlah berdasarkan perspektif Islam, melainkan berdasarkan perspektif asing, iaitu fahaman sekularisme yang tumbuh dalam sejarah masyarakat Barat yang Kristian.
 
Islam dan Politik
 
Secara normatif dan historis-empiris, Islam mempunyai pandangan yang sangat berbeza dengan sekularisme dalam masalah politik. Politik adalah bahagian integral dari keseluruhan norma Islam. Dikatakanlah, “Al-Islam diin wa minhu al-dawlah.” (Islam adalah agama, dan negara [baca:politik] adalah bahagian darinya). Definisi politik (as-siyasah) dalam perspektif Islam adalah pengaturan urusan-urusan masyarakat –dalam dan luar negeri-- berdasarkan hukum-hukum syariah Islam. Politik ini dilaksanakan secara langsung oleh negara Islam (Khilafah) dan diawasi oleh individu dan kelompok rakyat. Itulah makna politik yang diistinbath dari berbagai dalil, di antaranya dari hadits Nabi SAW yang sahih dan maqbul yang bererti:

"Dahulu Bani Israil, yang mengatur urusan mereka adalah para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain dan bahawasanya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khulafa` dan kemudian akan banyak sekali (jumlahnya)." (HR. Muslim, dari Abu Hurairah RA)

Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) memberi syarah (penjelasan) hadis di atas,”...di dalam hadis ini ada isyarat bahawa tidak boleh tidak rakyat harus mempunyai seseorang yang mengurus berbagai urusan mereka, membawa rakyat ke jalan yang baik, dan menolong orang yang dizalimi dari orang yang berbuat zalim.” Imam An-Nawawi (w. 676 H) mensyarah hadis di atas dengan mengatakan,”Mereka (para nabi Bani Israil) mengatur berbagai urusan Bani Israil itu, sebagaimana yang dikerjakan [saat ini] oleh para pemimpin (umarak) dan para gubernur/wali (wulah) terhadap rakyat. Dan politik (as-siyasah) adalah melaksanakan sesuatu dengan apa-apa yang membuatnya menjadi baik (al-qiyaam ‘ala al-syai` bi-maa yushlihuhu).”

Jelaslah, politik dalam erti mengurus berbagai kepentingan rakyat menurut ajaran agama Islam, telah dilaksanakan oleh Nabi SAW dan dilanjutkan banyak khalifah sesudah beliau, mulai dari Khulafa` Rasyidin, dilanjutkan Khulafa` Muawiyyin, Abbasiyyin, hingga Utsmaniyyin. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan sebelumnya oleh nabi-nabi dari Bani Israil terhadap kaum Bani Israil. Jadi, politik adalah bahagian integral dari Islam, seperti halnya sholat yang jelas merupakan bahagian integral dari Islam. Islam tanpa politik ibarat Islam tanpa sholat.

Maka dari itu, tidak hairan jika para banyak ulama menekankan, bahawa politik dan agama adalah ibarat dua saudara kembar (taw`amaani). Atau seperti dua sisi dari sebuah mata wang. Imam Al-Ghazali (w. 505 H) berkata,”...oleh kerana itu, dikatakanlah agama dan kekuasaan (as-sulthan) adalah dua saudara kembar. Dikatakan pula, agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan runtuh, dan segala sesuatu yang tanpa penjaga niscaya akan hilang.” Ibnu Taymiyah (w. 728 H) berkata,”Jika kekuasaan (as-sulthan) terpisah dari agama, atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rosak.”

Dalam terminologi Islam, sistem politik Islam dinamakan Khilafah atau Imamah. Kewajipannya secara normatif dalam Islam adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi. Seluruh imam dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah)  ini.  Syaikh Abdurrahman Al-Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, “Para imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi‘i, dan Ahmad) --rahimahumullah-- telah sepakat bahawa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya...” Tak hanya kalangan Ahlus Sunnah sahaja yang mewajibkan Khilafah, bahkan seluruh kalangan Ahlus Sunnah dan Syiah, juga kalangan Khawarij dan Mu’tazilah, tanpa kecuali bersepakat tentang wajibnya mengangkat seorang khalifah. Imam Asy-Syaukani (w. 1250 H) dalam Nailul Authar mengatakan,”Menurut golongan Syi'ah, majoriti Mu'tazilah dan Asy'ariyah, (Khilafah) adalah wajib menurut syarak." Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam Al- Fashl fi Al-Milal Wa Al-Ahwa' Wa An-Nihal mengatakan,“Telah sepakat seluruh Ahlus Sunnah, seluruh Murji'ah, seluruh Syi'ah, dan seluruh Khawarij, mengenai wajibnya Imamah (Khilafah)...”

Walhasil, Khilafah Islam –sebagai bentuk sistem pemerintahan Islam— yang akan menjalankan politik Islam di dalam dan luar negeri, adalah memang suatu kewajiban syar’i. Adapun pendapat yang menegasikan kewajipan Khilafah ini, bukanlah pendapat yang sahih dan mu’tabar (credible). Lagi pula, di tengah dominasi fahaman sekularisme dewasa ini, penolakan politik Islam jelas bukan merujuk pada norma dan pengalaman sejarah umat Islam, melainkan lebih merujuk pada norma dan sejarah masyarakat Eropah yang Kristian.

Kesimpulan

Politisasi agama merupakan istilah yang bermuatan ideologi demokrasi-kapitalis yang sekular. Asumsi dasarnya adalah agama harus dipisahkan dari dunia politik. Maka menurut fahaman sekular, “politisasi agama” adalah suatu penyimpangan. Sebaliknya, Islam dan politik adalah suatu kesatuan integral. Politik adalah bahagian dari Islam sebagaimana sholat adalah bahagian integral dari Islam. Islam tanpa politik adalah ibarat Islam tanpa sholat.

Perwujudan sistem politik Islam adalah sistem Khilafah yang keberadaannya adalah wajib secara syar’i. Menolak kewajipan Khilafah adalah pandangan syadz (ganjil) dalam khazanah pemikiran Islam dan hanya merupakan bentuk taklid buta kepada sekularisme yang merupakan ideologi kaum imperialis yang kafir.

Oleh Ummu Solehah Abdullah - 15.04.2004

Hantar artikel ini kpd sahabat: 

Sertai Maillist M@RHAEN